
Seorang Guru Seribu Muka Seribu Jiwa (Rany Anggraeni, S.S)
Guru adalah sebuah profesi yang mampu mencerdaskan kehidupan
generasi muda. Guru ibarat sebuah tonggak, harus tetap berdiri kokoh walau banyak
halangan dan rintangan. Saya dan teman-teman mengajar di sekolah menengah atas
yang terletak di sebuah kota kecil dan berada di lokasi petengahan yang artinya
setengah kota dan setengah desa. Otomatis zonasi sekolah menentukan karakter
dari setiap peserta didik. Halangan dan rintangan selalu kita hadapi tanpa
harus banyak mengeluh. Pemikirang kami sama hidup itu kadang di atas kadang di
bawah, matahari tak selamanya bersinar kadang siang kadang malam. Hal tersebut
menjadi tekad kuat bagi seorang guru agar semua yang kita harapkan berjalan
tegak lurus.
Seorang guru A datang ke sekolah dengan tergesa-gesa dan telat, guru
lain mencibir "Wah dasar guru telat". Seorang guru B datang dengan pamer punya
A dan punya B, "Wah dasar sombong". Seorang guru A datang dengan tekad kuat,
saya gak oleh makan gaji buta, guru lain berkata "Wah dasar pencitran". Seorang
guru datang sebagai orang alim dan tahu segalanya, guru lain berkata "Wah dasar
egois". Seorang guru muda datang dengan banyak prestasi, guru lain berkata "Wah
biasa aja", saya yang paling berpengalaman. Seorang guru datang dengan banyak
mengeluh "Gaji saya habis dipotong Bank", guru lain menjawab "Saya bersyukur dengan
gaji kecil tapi bisa hidup berkecukupan". Atasan datang dengan surat perintah, kerjakan
ini itu hari ini selesai, kumpulkan ini dan itu hari ini selesai, guru-guru
menjawab banyak sekali pekerjaan, gimana ini.
Itulah segala permasalahan yang datang silih berganti antara kami, tapi
semua hal tersebut ibarat uang recehan yang kita anggap sepele. Karena masalah
terbesar yang kita hadapi adalah generasi muda yang harus kita didik dan kita
bina sampai mereka kelak memiliki masa depan berprestasi dan membanggakan.
Guru dengan sejuta pesona dan sejuta peran harus dapat menghadapi
ratusan karakter siswa yang berbeda. Latar belakang peserta didik yang
berbeda-beda menguatkan kita untuk mampu berperan dengan baik. Guru tak boleh
memandang siswa, dia anak pintar dan dia anak bodoh, tapi kami harus bisa
merangkul semua dan mencari kelebihan setiap siswa. Pintar matematika belum
tentu pintar bahasa. Pintar berbicara namun lemah dipengetahuan. Pintar kognitif
namun lemah keterampilan. Kenyataan tersebut membuat seorang guru harus pintar
dalam memberikan nilai dan bonus point. Sebenarnya nilai kasih sayang menjadi
peran utama, ketuntasan minimal mewajibkan kasih sayang berperan. Rapot
hanyalah sebagai identitas tapi didalamnya terkandung rasa, asa dan harapan
dari seorang guru agar kelak mereka bisa menggunakan nilai yang didapat untuk
bekal masa depan.
Masa pandemi covid-19 seperti ini kita harus bisa menguatkan jiwa
raga dan akal agar bisa mengkondisikan dengan baik dan mampu sejajar dengan
tuntutan jaman. Pembelajaran daring menuntut kita untuk mampu menguasai
tekhnologi dan belajar memanfaatkan tekhnologi. Solusinya adalah sesama guru
membentuk tim belajar agar tekhnologi pembelajaran daring bisa kita kuasai,
dengan begitu kita lupakan cicilan, lupakan tomat dan bawang di dapur dan fokus
pada peran penguasaan tekhnologi. Siswa harus bisa terlayani walau tanpa tatap
muka. Jauh di mata dekat di hati, itulah semboyan pembelajaran daring, tak
terlihat namun si Ilmu tetap menjadi keributan, mereka bergerak dua arah dan
komunikasi berlalu lalang setiap hari.